Tahukah kamu, selain kehadiran di kelas dan mendengarkan penjelasan oleh guru/dosen, masih perlu ditambahkan PR untuk memperdalam ilmu pengetahuan yang dipelajari. Apa yang dipelajari selama berada di kelas itu baru pembukaan awalnya saja ilmu mau masuk dan mengendap di otak kita. Kalau kamu merasa tidak butuh PR karena sudah merasa pintar, maka itu adalah cara berpikir yang terlalu sembrono.
Ingat, “Practice makes perfect!” Hanya dengan latihan dan latihan terus menerus, seorang Cristiano Ronaldo bisa menjadi seperti sekarang ini, menjadi pemain sepakbola No.1 di muka bumi.
Seseorang yang sudah memproklamirkan dirinya sebagai orang pintar dan tidak lagi memerlukan latihan sama sekali, maka sesungguhnya dia masih jauh dari pintar. Sebaliknya, seseorang yang selalu merasa dirinya belum pintar dan selalu membutuhkan latihan dan tantangan lebih banyak lagi, maka sesungguhnya tanpa disadari dia semakin menuju ke arah kepintaran tersebut.
Latihan yang diberikan oleh guru/dosen –yang sering disebut PR– harus ‘dikerjakan sendiri’ dan selesai ‘tepat waktu’! Namun, pada kenyataannya, banyak di antara kita yang sering menyelesaikan tidak tepat waktu. Dan, kalau mau jujur ternyata tidak dikerjakan sendiri, alias menyontek atau mengkopi hasil pekerjaan temannya.
Mengerjakan PR adalah salah satu unsur penting dalam skema pembelajaran. Istilah resminya dalam dunia pendidikan adalah “Belajar Mandiri”. Effort atau upaya yang dicurahkan oleh pelajar/mahasiswa sungguh lumayan berat untuk mengerjakan PR. Jangan sampai sekadar menjadi ‘pistol kosong’ atau ‘pedang tumpul’, alias tidak berdampak signifikan terhadap agenda pamungkas di ujung semester, yaitu ujian akhir.
Pahami arti dari sekadar duduk di kelas
Bila kamu masuk dan duduk di kelas hanya untuk formalitas dan sekedar memenuhi kewajiban setor tanda tangan di lembar absensi. Bila kamu ikut-ikutan fotokopi atau mengkopi file materi kuliah, yang tak pernah kamu buka sampai dengan semalam sebelum ujian akhir dilaksanakan. Maka kamu harus sportif berterus terang pada dirimu bahwa tidak muncul kecintaan kamu terhadap ilmu pengetahuan yang sedang dipelajari.
Dan risikonya adalah, kamu tidak paham apa sih gunanya mempelajari ilmu tersebut bagi masa depanmu –padahal sangat penting? Hal-hal tersebut akan menggiringmu semakin ke arah kesulitan dan keengganan mengerjakan PR. Dengan kata lain, you are in the middle of nowhere!
Selanjutnya, mengerjakan PR hanya akan menjadi kegiatan yang sifatnya formalitas. Padahal ada banyak subtansi penting yang terkandung dalam soal-soal dalam PR dan proses perjuangan kamu menyelesaikan PR tersebut. Segala hal yang hanya sekedar formalitas akan segara hilang menguap dari otak kita, tanpa bekas sama sekali.
Kebiasaan Menunda
Sebenarnya kamu bisa dan kamu mampu mengerjakan PR tersebut. Tapi kebiasaan yang menggelayut di benakmu, “Ah, nanti saja, kan waktunya masih lama…” tanpa kamu sadari akan menempatkanmu pada posisi kepepet dan terjepit di saat akhir ketika waktu ternyata sudah tak terkejar lagi.
Perhatikan prioritas kamu!
Selama akal sehat masih memayungi otak dan bertautan dengan hati, maka kamu pasti bisa menyusun skala prioritas dalam hidupmu. Mana yang penting dan mana yang kurang penting akan kamu atur sesuai urutan skala prioritasnya. Tapi tantangannya adalah, ketika hati mudah tergoda maka otak dipaksa memutuskan untuk mengacak-acak skala prioritas tadi.
Ajakan teman jalan-jalan keluar di jam belajar untuk sekedar ngobrol santai di kafe atau di hanging-out ke mall adalah contoh paling simple. Life style sudah terlalu dikedapankan diatas skala prioritas hidup. Lebih parah lagi bila jenis godaan tersebut berdampak pada kehancuran kondisi keuangan atau bahkan kesehatan dan masa depanmu dipertaruhkan. Misalnya hobi dugem, atau bahkan terjerumus narkoba. Untuk ancaman dan godaan seperti ini, please berhati-hatilah!
Pada titik tertentu, suatu saat ketika kamu sudah terlena dengan godaan tadi, akhirnya selalu muncul berbagai excuses atau ‘alasan untuk pembenaran’ yang dipaksakan. Misalnya, “Ah nanti kan bisa pinjam hasil pekerjaan teman …” atau “Ah yang penting nanti kan ujiannya bisa garap, PR ga terlalu ngaruh …”, atau berbagai excuses lainnya yang mendadak jadi seabrek memenuhi benakmu.
Seriuslah belajar kelompok
Apakah kamu selalu rajin mengajak dan mendorong teman-temanmu untuk belajar kelompok? Itu bagus juga sih. Tapi, belajar kelompok jangan kamu jadikan kedok untuk menutupi ketidak-‘pede’-an mu mengerjakan PR secara mandiri.
Beranilah memutuskan sesuatu, meski itu terbukti salah di kemudian hari. Daripada tidak pernah berani memutuskan apapun, dan hanya bergantung pada orang lain seumur hidupmu. Karena, kesalahan adalah bagian dari proses belajar bagi semua orang yang sedang menuju kesuksesan.
Cobalah kerjakan dulu sebelum belajar kelompok bersama sobat-sobatmu. Lalu diskusikan dan bandingkan dengan hasil pekerjaan yang lain. Maka akan terjadi ultimasi kebersamaan dalam belajar, sehingga satu sama lainnya akan saling memberi dan saling menerima.
Sosial media bisa membunuhmu
Inilah fitur anak muda abad milenium! Hidup bersama sosial media yang semakin menjamur dan semakin hebat memikat perhatian remaja hingga rela berjam-jam, bahkan berhari-hari, melupakan hal-hal penting lainnya dalam hidup.
Kemajuan teknologi memang tak hanya membawa dampak positif, karena dampak negatifnya mirip bahaya laten yang tahu-tahu sudah beranjak genting tanpa disadari.
Bahkan ritme dasar biologis manusiapun –yaitu rasa lapar dan haus, hingga kantuk malam– terkadang tidak mampu ‘membangunkan’ dari pulasnya bergaul dengan sosial media. Poin ekstremnya adalah ‘autis secara sosial.’ Nggak perlu dibahas lebih lanjut yah, intinya please don’t be like that … for your bright future.
Nah, demikian ketujuh poin negatif yang berpotensi mengganggu proses pembelajaran hidupmu, yang sama sekali bukan hal yang sulit kamu antisipasi jauh sebelumnya. Semoga sukses ya !
Penulis: Sritopia
Sumber : Quipper.com